Archive for Tulisan-Berita

SMA Negeri I Nabire, Papua masih memugut biaya Rp 40.000 per siswa

JUBI— SMA Negeri I Nabire, Papua masih memugut biaya Rp 40.000 per siswa untuk biaya mata pelajaran Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK). Padahal mata pelajaran ini telah masuk kurikulum sekolah sehingga tak ada pungutan lagi.

Andi Yapen (26), warga Kelurahan Morgo, Distrik Nabire, Kabupaten Nabire, Papua menuturkan, SMA Negri I masih memungut biaya sebesar Rp 40.000 per siswa. Padahal mata pelajaran ini telah masuk kurikulum sekolah sehingga tak ada pungutan lagi.
“Setahu sa setiap siswa sudah membayar biaya Komite Sekolah sebesar Rp 36.000 per siswa berarti tong pu anak-anak tara bayar uang tambahan lagi. Tapi mengapa masih saja ada pungutan tambahan. Pada hal kalau sa lihat mata pelajaran TIK itu su masuk dalam  mata pelajaran yang dikurikulumkan,” terang Yapen yang dihubungi via telpon di Nabire, Rabu (25/3).
Yapen menambahkan, saat ditanya mengenai biaya mata pelajaran TIK, dewan guru berdalih bahwa perlengkapan komputer di sekolah tak memadahi sehingga sebagian besar siswa Kelas 12 dan Kelas 13 menerima mata pelajaran TIK disalah satu tempat kursus komputer milik guru bidang studi TIK. Berhubung mendapat pelajaran TIK di tempat kursus komputer milik guru tersebut, terpaksa dewan guru memintah biaya tambahan dari oran tua murid. “Sa heran sekali masa sudah ada pendidikan gratis tapi masih ada pungutan biaya. Dong tara malu ka, su dapat gaji dari pemerintah baru masih minta sama orang tua,“ tukas Yapen.
Karena itu, Yapen berharap agar Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Nabire dapat menyelesaikan permasalahan ini. “Jika dinas dong tara tanggapi, maka sa akan lapor ke Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) agar dong periksa guru-guru di SMA Negeri I Nabire,” ujar Yapen. (Carol Ayomi)

Leave a comment »

Aksi Damai FMPI Sempat Ricuh Di Polsek Abepura

JUBI—– Sesudah Aspirasinya diterima oleh Depertemen Hukum dan HAM RI, Kantor Wilayah Provinsi Papua Mahsiswa dengan tertib meninggalkan kantor tersebut. Tak lama kemudian sempat terjadi ricuh di Polsek Abepura Jayapura, Papua Sekitar pukul 14.00 WIT.

Dari pantauan JUBI Awal kejadian kericuan tersebut disebabkan oleh massa aksi FMPI yang berkumpul di badan jalan Sentani — Abepura di depan Gereja Khatolik Gembala Baik setelah aksi berakhir. Mereka hendak menghentikan sebuah truk untuk mengangkut mereka pulang ke Sentani, Waena dan sekitarnya. Memang Situasi di siang hari itu sangat panas dan dapat memancing emosi mahasiswa, ditambah lagi dengan kemacetan lalu lintas membuat massa tak sabar untuk segera pulang, Hal ini disebabkan massa FMPI memblokir separuh jalan dan memintah agar pihak kepolisian memberikan truk untuk mengantar pulang mereka ke tempatnya masing-masing.
Namun sayang Aksi damai tersebut dikotori oleh aksi oknum yang tak bertangung jawab dengan memukul kepala belakang seorang mahasiswa asal pengunungan tengah yang mengikuti aksi  tersebut. Melihat kejadian tersebut serentak massa mengejar warga pendatang (non Papua) itu hingga ke depan Polsek Abepura Jayapura. Beberapa orang massa membawa kayu serta batu dan meminta agar orang tersebut dikeluarkan. “Kasih keluar dia dan jangan kasih sembuyi, kalian kira kami takut polisi kamu ka,” teriak seorang pemuda yang hendak melempar Kantor Polisi..
Tak lama kemudian masa berhasil ditenangkan oleh pihak kepolisian dan penanggung jawab aksi tersebut.

Terdengar Nyanyian Khas Pegunungan

Namun sesudah massa dibubarkan dari depan Polsek Abepura, Massa kembali menghentikan sebuah truk berwarnah hijau di lampu merah Abepura dan naik ke atas truk tersebut. Melihat massa yang datang semakin banyak sopir truk tersebut memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Massa yang melihat sopir truk itu membelokkan mobilnya ke arah Saga Mall, Abepura langsung melempar truk tersebut dengan sepatu, batu dan kayu. Selanjutnya, truk tersebut berhasil lolos dari kejaran massa hingga ke depan Bank Papua – Abepura. Sebagian massa yang tak sempat melempar truk tersebut memutar arah dan melempari beberapa motor di depan rumah makan Padang Perna Abadi dan beberapa ruko yang ada di sekitar lampu merah Abepura. Dari jauh terdengar jelas nyanyian khas pegunungan (Waita), nyanyi rindu itu untuk memangil kawan-kawan berkumpul.
Melihat kejadian tersebut para pemilik toko di depan Gereja Khatolik Gembala Baik, Kantor Pos dan lampu merah serentak menutup tokonya.
Kericuhan itu terjadi sekitar 10 menit, akhirnya pihak Polsek Abepura berhasil menenangkan massa dan menghentikan bus sekolah milik SMU Negeri 6 Jayapura dan dua truk untuk mengantar massa pulang ke Sentani dan sebagian massa pulang dengan satu truk kearah Perumnas 1,2 dan 3 di Waena, Jayapura. Lalu lintas yang sempat macet satu jam akhirnya kembali normal. (Carol Ayomi)

Leave a comment »

Pejabat Sulit Ditemui, Warga Mengeluh

Titin Gobay

Titin Gobay (19)

Written by Kyoshi Rasiey
Wednesday, 11 March 2009
JUBI—Sejumlah pejabat dilingkungan pemerintah Provinsi Papua yang sulit ditemui, tak pelak menimbulkan kekecewaan warga. Sejumlah warga bahkan mengatakan sebaiknya pejabat bersangkutan yang tidak ingin ditemui diberhentikan saja

“Memang agak susah kalau mau bertemu dengan pejabat. Alasannya sangat banyak. Biasanya memang harus buat janji dulu. Tapi ada pejabat juga yang biasa mencari alasan tidak ingin ditemui,” kata Shinta seorang warga di Jayapura saat ditemui JUBI, rabu (11/3).
Menurutnya, pejabat seperti itu memang pantas dipindahtugaskan karena tidak bisa memahami kesulitan warga. Dikatakan, pejabat yang masuk dalam kategori sulit ditemui sangat banyak di Jayapura. Apalagi yang berada didalam lingkungan pemerintah Provinsi. “Ada beberapa yang sangat susah. Biasanya kalau sudah begitu, orang yang bertemu pulang dengan tidak mendapatkan apa-apa,” ujarnya.
Seperti dialami warga, sejumlah wartawan di Jayapura kerap juga mengeluhkan hal yang sama. Sebut saja wartawan dari salah satu media terkemuka di Papua. Wartawan yang tidak ingin menyebutkan namanya itu mengatakan, sejumlah pejabat daerah yang ingin ditemui untuk wawancara biasanya mengelak dengan mengatakan tidak berada ditempat. “Ada juga yang biasa bilang sakit. Padahal kita cuma ingin wawancara saja. Setelah ditelusuri, ternyata pejabat bersangkutan tidak sakit, mereka hanya mengelak saja,” kata dia.
Hal serupa pernah pula dialami wartawan JUBI saat akan mewawancarai seorang pejabat di Jayapura belum lama ini. Selama dua pekan, wartawan JUBI harus menunggu untuk mewawancarai pejabat tersebut yang kini memegang salah satu jabatan terhormat dalam jajaran pendidikan.
Alasan yang dikemukakan Sekretaris Pribadi saat itu adalah “Bapak sedang ke Jakarta untuk urusan dinas, mungkin kembali dalam tiga hari lagi,” ujarnya. Setelah tiga hari kemudian, saat wartawan bersangkutan kembali, alasan serupa pun disampaikan lagi “Ade kembali besok saja karena bapak akan tiba di Jayapura besok”. Masih dengan alasan yang sama, setelah keesokan harinya wartawan JUBI datang dan ingin menemui pejabat tersebut, Sekretaris Pribadi pejabat itu mengatakan “Bapak tidak ada ditempat”. Uniknya, setelah dihubungi melalui handphone, pejabat itu kembali mengelak dengan mengatakan, “Adu maaf Ade, Kaka lagi sakit mungkin bisa satu atau dua hari lagi baru datang wawancara kah.”
Kejadian serupa memang kerap dialami tidak hanya warga tapi juga wartawan. Billy Metemko, seorang peserta unjuk rasa yang digelar selasa kemarin (10/3) di halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua bahkan mengatakan sebenarnya tidak hanya pejabat saja yang sulit ditemui. Anggota legislatif, kata dia, juga sangat susah untuk bertatap muka dengan warga. Mereka hanya bertemu dengan warga apabila ada sesuatu yang diinginkan. “Kita sudah dari tadi disini tapi tidak ada anggota dewan yang mau datang. Semuanya sembunyi tidak tahu dimana,” katanya saat ditemui JUBI kemarin.
Dia berharap, tidak hanya pejabat dijajaran dinas saja tapi juga anggota dewan agar tidak lagi membuat diri mereka jauh dengan warga. Karena baginya tentu akan mengakibatkan kekesalan dan kekecewaan yang berkepanjangan. “Kita mau sekarang supaya ada perubahan. Kalau tidak sekarang saja kita akhiri,” katanya lantang. (Carol Ayomi).
http://www.tabloitjubi.com

Leave a comment »

Siprianus Guntur: “Pendidikan Lingkungan Hidup Mesti Dimasukan Dalam Setiap Bidang Studi”

Written by Kyoshi Rasiey
Wednesday, 11 March 2009
JUBI— Pendidikan lingkungan hidup semestinya dimasukan dalam setiap bidang studi karena disetiap mata pelajaran yang diberikan guru akan berbicara tentang lingkungan hidup.

Koodinator Pendidikan dan Pelatihan Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup Cykloop (YPLHC) Papua Siprianus Guntur S.Si mengatakan, pendidikan lingkungan hidup sangat penting jika dimasukkan kedalam semua bidang studi dan mata pelajaran mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi diProvinsi Papua. Karena pendidikan lingkungan hidup mempunyai peran penting bagi kehidupan mahkluk hidup termasuk manusia. “Jika pendidikan lingkungan hidup dimasukan ke semua mata pelajaran, maka siswa san mahasiswa akan lebih mengenal dan mengetahui betapa pentingnya lingkungan hidup bagi kelangsungan hidup manusia, ” tukas Siprianus kepada JUBI di ruang kerjanya, Rabu (11/3).
Menurut Siprianus, jika pendidikan lingkungan hidup hanya dijadikan kurikulum atau Muatan Lokal (Mulok), maka pemerintah dan lembaga pendidikan harus diperhatikan adalah dapat menyediakan tenaga ahli untuk bidang studi lingkungan hidup. Karena berbicara soal lingkungan hidup bukan hanya mengenai hutan. Tetapi berbicara mengenai tiga dimensi yakni ekonomi, sosial dan ekologi. “Untuk itu saya berharap agar lingkungan hidup lebih banyak berbicara mengenai ekonomi, sosial dan ekologi jangan hanya berbicara mengenai hutan dan pencemaran lingkungan,” tutur Siprianus.
Siprianus berharap agar Pemerintah Provinsi Papua dapat menyetujui pendidikan lingkungan hidup dijadikan mata pelajaran atau Mulok. Karena jika lingkungan hidup diperkenalkan ke lembaga pendidikan sejak dini mulai dari tigkat SD,SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi maka generasi kedepan akan lebih menjaga dan memelihara lingkungan hidup di Papua. (Carol Ayomi)
http://www.tabloidjubi.com

Leave a comment »

Kemerdekaan Papua Harga Mati, Otsus Di Kembalikan Ke NKRI.

Demo Memintah NKRI Mengembalikan Kemerdekaan Papua Barat, Selasa (10/3) di Jayapura PapuaKemerdekaan Papua Harga Mati, Otsus Di Kembalikan Ke NKRI.

JUBI—– Aksi long march Komite Nasional Papua Barat bertitik kumpul di Expo Waena selanjutnya menuju ke DPRP Papua menyatakan sikap bahwa Kemerdekaan Papua Harga Mati dan Otsus di kembalikan ke NKRI.

Suasana aksi long march Komite Nasional Papua Barat berlangsung dengan damai di depan kantor DPRP Provinsi Papua. Awalnya rakyat Papua merasa bahwa harga dirinya adalah tanah, ras, adat  telah ditindas dan dirampas oleh NKRI selama 45 tahun yang lalu. Tetapi yang selama ini dirasakan adalah hutan, hasil tambang (emas, gas dan minyak bumi) dan kekayaan laut telah dikerok habis. Ditambah lagi dengan lokalisasi WTS dan HIV/AIDS masuk hingga ke kampung-kampung. Untuk itu aksi long march dari Komite Nasional Papua Barat memintah kepada DPRP agar Otsus, Partai dan Pemilu, PNS, MRP, Perusahan dan lain-lain harus ditiadakan ditanah Papua.
Menurut Mantan Juru Bicara TPN/OPM periode 1999-2002 Celsius Sergius Wapay (60), seluruh rakyat Papua mulai dari akar rumput hingga kalangan elite Papua menolak Otonomi Khusus yan diberikan oleh NKRI. Tahun 2006, 12 Agustus rakyat Papua menolak Otsus dengan mengantar peti mati Otsus ke gedung DPRP Papua. Ada beberapa point yang membuat rakyat Papua menolak Otsus. Pertama, Otsus tak mukratis (bernilai), kedua, Otsus tak aklatif (menarik), ketiga, Otsus bukan aspek politik tetapi Otsus merupakan aspek administratif Negara. Lanjut Kata bekas Tapol ini Otsus sebenarnya sudah diberikan sejak jaman penjajahan belanda dulu yang diberi nama De Gouvernement Van Nederlands Nieuw Guinea, 27 Desember 1949. Untuk itu secara tegas seluruh rakyat Papua mengembalikan Otonomi Khusus dan memintah kemerdekaanya. tutur bekas Tapol tahun 1969 dan 1972 kepada JUBI di Depan Gedung Dewan Kesenian Papua di Jayapura, Selasa (12/3).
Ditambahkan Wapay, Selama ini Otsus dipaksakan untuk rakyat Papua yang hanya merasakan adalah mereka para elite Pemerintah Papua.  Yang rakyat Papua minta adalah kembalikan kemerdekaan Papua Barat yang dideklarasikan pada 01 Desember 1961. Namun sebelum deklarasi kemerdekaan Papua Barat tepatnya 19 Novembar 1961terjadi kongres pertama (Komite Nasioanal Papua) membahsa tentang atribut, lambang, lagu dan bendera Papua. Kongres tersebut di ikuti oleh 70 orang Papua mewakili dari berbagai kumpulan politik, suku dan dua partai politik  besar yakini PARNA (Parta Nasioanal) ketua Herman Wayoi – Eliezer Bonay dan Demokratische Volks Partij (DVP) Alm. A.Y.A Runtuboy dipimpin oleh Ketua komite Nasonal Alm. Willem Inuri. “Kongres Papau pertama yang paling lama dibahas adalah masalah bendera,” ungkap Wapay.
Untuk itu Wapay Berharap agar Otsus ditarik kembali oleh NKRI karena sejak jaman Belanda, Soekarno, Soeharto dan era Reformasi rakyat Papua sudah mendapatkan otonomi sebanyak lima Kali. Yang ratyat Papua inginkan adalah dikembalikan kemerdekaan Papua Barat yang dideklarasikan tahun 1961. Karena Presiden Soekarno mengakui adanya Negara Papua Barat, salah satu pointd Dwikora adalah bubarkan Negara Papua Barat buat boneka Belanda. “Berarti saat itu Presinden Soekerno telah mengakui pembentukan Negara Papua Barat. Kami hanya memintah kembalikan hak rakyat Papua untuk mendeka,” tutur Wapay.  (Carol Ayomi

Leave a comment »

Budaya Merupakan Pintu Masuk Untuk Mencegah HIV dan AIDS

Budaya Merupakan Pintu Masuk Untuk Mencegah HIV dan AIDS

“Tidak ada obat untuk menyembuhkan, tapi melalui media transformasi dan informasi budaya Papua dapat mencegah penyebaran HIV dan AIDS di kalangan muda-mudi”

JUBI – Bagi masyarakat Papua pada umumnya sudah mengenal HIV dan AIDS serta Malaria merupakan penyakit yang paling ditakutkan. Kalau tidak berhati-hati maka nyawalah taruhannya. Malaria merupakan penyakit epidemik sejak dahulu, tapi kalau berbicara mengenai HIV dan AIDS sudah tentu semua orang tahu bahwa pertama kali virus ini ditemukan di Kota Mereuke tahun 1992. Penyebaran HIV dan AIDS tergolong cepat, jumlah kasus yang didapat per 31 desember 2007 adalah 3629 kasus. Diantaranya yang paling rentan untuk terkena HIV dan AIDS adalah kelompok umur 20-29 tahun. Kelompok ini merupakan kelompok anak-anak muda yang beresiko tinggi, karena selalu berganti-ganti pasangan, melakukan seks bebas serta tidak mengunakan kondom.
Baca entri selengkapnya »

Leave a comment »

Tak Ada Air Bersih, Skabies Landa Warga

Tak Ada Air Bersih, Skabies Landa Warga

JUBI – “Penyakit kudis atau gatal-gatal masih banyak ditemukan dikalangan masyarakat yang tinggal di Kampung-kampung yang berada dipesisir pantai Jayapura. Tidak adanya air bersih menyebabkan masyarakat mengkonsumsi mata air yang berkapur untuk memenuhi kebutuhan mandi, cuci dan keperluan lainnya”

Kesehatan lingkungan  sangatlah penting untuk menjamin kehidupan yang sehat didalam keluarga dan masyarakat di suatu kampung. Kurangnya pemahaman akan kesehatan lingkungan. Sehingga membuat masyarakat yang tinggal di  pesisir pantai Jayapura pada umumnya menderita penyakit Skabies atau kudis. Ditambah lagi masalah tranportasi yang hanya bisa dijangkau dengan mengunakan motor tempel, oleh karena itu untuk menjaga kesehatan diri sendiri saja susah, apa lagi menjadi kesehatan lingkungan. Untuk itu pihak kesehatan jangan hanya menempatkan bidan. Tapi haruslah menempatkan perawat untuk membentuk pekerajaan bidan yang notabenenya membantu ibu hamil, melahirkan, menyusui dan balita.
Salah satu kampung yang tingkat skabiesnya tinggi adalah Kampung kendate. Kampung yang berada diwilayah Distrik Depapre Kabupaten Jayapura hanya memiliki seorang bidan
Penyakit yang seringkali diderita masyarakat adalah Malaria dan Diare. Namun kebanyakkan anggota masyarakat di kampung ini juga terlihat menderita Skabies (kudis). Menurut Lea Boway, 42 tahun bidan kampung Kendate penyebabnya adalah air yang digunakan masyarakat berasal dari karang yang masih hidup. “Airnya kalau kita masak, itu setengah bagian belanga itu kapur. Tapi setidaknya air yang bagus hanya air yang berasal dari mata air itu dan memenuhi syarat untuk dipakai mandi dan minum,” ujar Lea. Seperti juga Kampung Tablanusu, walaupun bukan berasal dari karang hidup, tapi airnya sama berkapur.
“Disini walaupun airnya mengalir bagus, masalah adalah karang hidup. Mandi boleh saja tapi badan gatal-gatal, terus kebanyakkan masyarakat di sini sakit ginjal karena terus menerus minum air yang berkapur,” kata Lea. Ia memperkirakan, hal ini diakibatkan masyarakat minum air dalam keadaan panas dan kapurnya belum mengendap dengan baik, sehingga saat mencapai usia 40 hingga 50 tahun banyak masyarakat mengeluh dan saat diperiksa, mereka menderita sakit ginjal.
Untuk penyakit malaria, selama ia tangani tidak ada yang meninggal dunia. Menurut pengamatannya, masyarakat asli Kabupaten Jayapura, jika ada merasa sakit seperti malaria, masyarakat langsung berobat dan diobati langung sembuh. Tapi jika masyarakat yang berasal dari luar Papua atau kabupaten lain, seperti Wamena dan Paniai biasanya agak parah. “Mereka datang ke Jayapura, mereka sepertinya kaget dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan malaria. Mereka sangat rawan sekali, jika tidak diantisipasi lebih dini. Mungkin Cuma malaria plus satu saja langsung meniggal dunia. Tetapi anak-anak kecil disini sampai malaria plus 3masih bisa bermain,” ujar Lea. Bahkan saat panas tinggi, juga tetap bisa bermain. Tiap hari ada saja pasien yang datang berobat ke Polindesnya. Kadang sampai belasan, kadang juga tidak ada sama sekali.

Cenderung Penyakit Malaria dan Skabies.
“Kalau untuk penyakit Skabies biasanya saya kasih obat Amoxcilin dan CTM untuk gatal – gatalnya karena kami disini obatnya sangat terbatas, jadi kami hanya anjurkan agar dapat menjaga kebersihan. Walaupun air jelek, bagaimanapun juga kita harus berusaha supaya pakaian yang kita pakai tetaplah bersih,” lanjut Bidan Lea.
Polides ini dibangun sejak tahun 2006, karena permasalahan dana sehingga harus menunggu hingga ada dana lagi baru dapat diselesaikan. Hingga pada bulan Januari polides tersebut selesai dikerjakan dan boleh ditempati. Sebelumnya Bidan Lea tinggal di Tablanusu. Setiap harinya ia harus pulang pergi mengobati pasien di Kampung Kendate. “Dokter kasih tanggung jawab untuk saya yakni kalau ada ibu hamil, melahirkan, ibu menyusui dan bayi balita barulah saya datang untuk mengobati itu merupakan tanggung jawab bidan,” katanya. Untuk pengobatan lain seperti luka dan sebagainya, sebagai bidan itu dilengkapi dengan keterampiran untuk mengisi kekurangan perawat.  Sedangkan pekerjaan pokoknya yaitu membantu melahirkan ibu hamil. Jadi puskemsmas menempatkan bidan desa hanya untuk menolong ibu hamil. Distrik Depapre pada umumhya memiliki Polindes . Putu hanya ada di Yosufar saja yang sekarng menjadi distrik Rafinirirara. Polindes khusus memperkerjakan bidan bidan saja.
Mama Lea mengakui persediaan obat di polindesnya agak susah, jadi masyarakat haruslah dapat menjaga kebersihan lingkungan terutama terutama untuk ibu-ibunya. Setiap kali mengunjungi pasiennya, untuk pelayanan ibu hamil, ibu melahirkan Ia selalu meminta para ibu agar dapat menjaga kebersihan rumah, kamar, tempat tidur agar tidak mudah tertular oleh penyakit Skabies. “Karena anak main kotor dan pulang terus mandi, tapi tetap memakai pakaian yang kotor, ya.. sama saja kita memelihara penyakit di tubuh anak kita. Jadi pengobatan kita hanyalah sia-sia saja. Minimal kalau anak-anak main haruslah mandi yang bersih lalu pakai pakaian yang bersih, jika tidak kotoran tetap menempel di badan,” kata ibu lima anak ini. Jangan setelah sakit terus datang untuk berobat, namun tidak ada upaya pencegahan sama sekali.
Maksud dari pengecahan adalah menjaga lingkungan agar bersih, buang air pada tempatnya (anak-anak kecil di kampung sering kali buang air besar disembarang tempat) karena kadang ibu –ibu tidak tahu kalau itu menimbulkan penyakit.
Selama ini obat-obatan Polindes berasal Puskesmas induk Depapre. “Setiap kali pengobatan kita buat laporan, terus kita terima obat. Sementara obat itu kadang ada kadang kurang. Karena memang pengadaan di Polindes harus meminta ke gudang, kadang jumlahnya memang terbatas itu sudah yang saya terima. Jadi kita dari sekian kampung yang ada di Distrik Depapre, kita ada sebelas desa. Walaupun suadah terbagi Distrik pemecahan yang baru, tetapi khusus depapre ini masih dilibatkan,” ceritanya. WAlaupun sudah menjadi distrik sendiri, Distrik Rafinirara masih bergantung kepada Distrik Depapre dan masih belum terlepas dari pelayanan kesehatan dari Depapre. Jika diperhatikan distrik depapre memang berada di tengah-tengah, sehingga distrik yang luar wilyahnya seperti distrik Yokari dan kampung kampung distrik Demta yang dekat dengan Depapre masih berobat ke Depapre. Apa lagi distrik Yokari semuanya masih berobat ke distrik Depapre.
Contohnya kampung Moy. Hingga saat ini Kampung Moy masih datang berobat ke Depapre. “Jadi kita punya permintaan obat yang sedikit itu dari gudang sesuai dengan kita punyai target, tapi ternyata banyak pasien yang datang. Misalnya, saya meminta obat Paracetamol 100 butir, tetapi dalam kekurangan obat tidak mungkin dari gudang kasih 100 butir obat, mungkin akan dikasih 50 butir obat saja. Ini merupakan kendala-kendala selama bertugas di kampung-kampung yang ada di Depapre. Sementara kita sebagai petugas yang ada disini, karena kartu Askes  itu sebenarnya sudah berlaku, cumanya kekurangan kita di Kampung itu macam obat sampai kadang tidak ada itu mau ambil dari mana. Terpaksa jam sore yang pasien itu datang untuk berobat terpaksa saya harus pungut biaya sebesar Rp. 5000,- untuk pengobatan yang bukan di jam kerja,” katanya. Jam kerja antara pukul 08.00 – 12.00 WIP. Jika sampai kekurangan obat, uang hasil pengobatan diluar jam kerja ia gunakan sebagai alternatif pengadaan dengan membeli obat di Apotik di Kota Sentani.
Mama Lea sudah empat tahun bertugas dikampung Kendate. “Saya mulai bertugas pada tahun 1996 di Kampung Tablasupa, saya dipindahkan ke Lereh selama dua tahun. Kemudian saya dipindahkan ke Kendate jadi sudah empat tahun,” ceritanya. Mama Lea sendiri berasal dari Kampung Tablanusu, seluruh keluarnya termasuk anak-anaknya tinggal di Tablanusu bersama suaminya. “Mereka bersekolah disana, bisanya saya pulang pergi jika tidak ada pasien yang darurat. Namun Jika ada  ibu hamil barulah saya tetap bertahan disini. Mungkin sementar mau melahirkan jadi saya berada ditempat,” katanya. (Carol Ayomi)

Leave a comment »

Mendorong Gerobak, Untuk Beri Makan Pemilik Gerobak !

Mendorong Gerobak, Untuk Beri Makan Pemilik Gerobak !

Tanggal : 09 Feb 2008
Sumber : FokerLSMPapua.org

FokerLSMPapua.org,

JUBI – “Gerobak  yang kami dorong sekarang ini bukan kami punya, pace-pace TKBM dong yang punya gerobak. Kami hanya menawarkan jasa untuk mendorong dan hasilnya akan dibagi. Biasanya sekali dorong gerobak kami dapat bayar Rp. 150.000,- yang pasti kami akan diberikan sekitar Rp.40.000,- dari pemilik gerobak,” ujar Isak

Kalau berbicara soal tanah Papua sudah terkenal dipersada Nusantara dan di dunia karena kekayaannya akan keanekaragaman hayati. Sumber daya alam (SDM) seperti hutan, laut, sungai maupun pertambangan  sangat berpotensi besar untuk mengangkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat masyarakat Papua. Tapi semuanya itu bisa menjamin masyarakat Papua untuk mendapatkan hak-hak dasar yang sudah dimuat dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Hak-hak dasar itu adalah hak mendapat pendidikan, hak mendapat kesehatan, infrastruktur serta ekonomi rakyat. Namun tak berarti bahwa masyarakat asli Papua yang tinggal di kampung-kampung dan daerah terpencil bisa merasakan empat elemen UU Otsus. Yang jelas siapa yang dapat bertahan melawan arus globalisasi tentu akan mendapatkan kehidupan yang layak seperti yang masyarakat Papua inginkan. Hal-hal diatas bisa menjadi pengangan bagi rakyat Papua untuk mengontrol sejauh mana Otsus yang sudah berjalan kurang lebih 7 tahun. Pertanyaannya? Ternyata masih banyak anak-anak Papua yang tidak bersekolah bahkan putus sekolah. Dimanakah dana otsus untuk pendidikan yang mencapai triliunan rupiah?
Sebab sebagai manusia, anak-anakpun memiliki hak untuk hidup sebagaimana hak yang dimiliki orang dewasa yang djamin dalam undang-undang serta berbagai regulasi internasional termasuk  mendapatkan pendidikan yang layak.
Kenyataannya, sampai saat ini masih banyak sekali anak-anak yang putus sekolah dan bekerja di jalanan. Anak-anak di kota Jayapura ternyata banyak sekali yang putus sekolah, tapi semuanya itu dapat terjawab dengan adanya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Dimana anak-anak putus sekolah disaring serta di laporkan ke Dinas P & P untuk didata, kemudian akan diserahkan kembali ke PKBM untuk memberi pelajaran serta mengajar mereka.
Putus sekolah serta berkerja seperti orang dewasa juga dialami oleh Yohanes You (13) dan Isak Pandayar (17). Kedua anak tersebut putus sekolah serta bekerja mendorong gerobak di Pelabuhan Laut Nabire. Yahones You, anak kedua dari dua bersaudara memutuskan bersekolah sejak tahun 2004/2005. hal itu dikarenakan pada tahun 1996 terjadi gempa di pulau Biak yang mengakibatkan ayah Yohanes meninggal dunia terkubur di dalam sumur. Sehingga Yohanes berserta mama dan kaknya memutuskan untuk pulang ke Nabire. Anak campuran Paniai-Biak ini sempat merasakan dunia pendidikan hingga dibangku kelas lima  di SD YPK Paulus Celvin di Samabusa Distrik Teluk Kimi Kabupaten Nabire. Namun karena tidak ada biaya pendidikan mamanya memberhentikan Yohanes dari sekolahnya. Ibunya sendiri hanya berjualan makanan (keladi, petatas, ketupat serta iakn goreng) setiap ada kapal penumpang milik PT. PELNI sandar di pelabuhan Nabire.
Menurutnya, sesudah berhenti sekolah biasanya Anis (Yohanes) menbantu  ibunya menjaga jualan di pelabuhan. Tak lama kemudian tepatnya tahun 2006,  temannya Isak Pandayar mengajak Anis untuk mendorong gerobak yang isinya barang-barang penumpang yang mau berangkat mengunakan jasa kapal laut (Nggapulu, Doloroda, Labobar). Sudah setahun Anis mengeluti pekerjaan sebagai pendorong gerobak. Namun gerobak tersebut bukanlah milik mereka tapi orang lain. Bersama teman-teman sebayanya mereka rela menahan ngantuk serta dinginnya udara malam hari jika kapal masuk jam 1:00 dini hari dan harus rela bermandi derasnya air hujan serta berjemur terik panasnya mentari.
“Kak, biasanya sekali dorong gerobak dari ruang tunggu sampai dekat kapal, kami dibayar Rp. 150.000,- tapi semuanya akan dikasih sama pemilik gerobak. Trus kami hanya dikasih ongkos capek sekitar Rp.30.000 – Rp.50.000,- Ini  juga harus dibagi dengan ketiga teman yang ikut mendorong gerobak,”  ungkap Yohanes dipara-para rumahnya.
Nasib serupa juga dialami Isak Pandayar (17), yang berhenti sekolah dikelas 6 SD, karena Ayah dan Ibunya berpisah sejak Isak berumur 10 tahun. Ayah Isak pergi bekerja di Timika dan menikah lagi dengan wanita lain sedangkan Ibunya pulang ke Biak dan menikah lagi dengan laki-laki dari Biak.  Adik-adik Isak semuanya ikut ke Biak sedangakan Isak tinggal bersama Neli Pandayar adik perempuan bapaknya. Karena ditelantarkan oleh kedua orang tuanya Isak memutuskan berhenti sekolah pada tahun 2001. Isak merasa sudah  tidak ada orang lagi yang peduli terhadap hidupnya, termasuk keluarganya. Akibatnya, Isak mulai mulai mencoba merokok dan minuman keras (miras).
“Tidak ada yang dapat melarang saya bahkan saya pu tante sendiri tidak berani,” ujar Isak saat duduk-duduk dipara-para rumah Yohanis.
Dijelaskannya, sekitar tahun 2005 Edi Wadiwe (45) bekerja sebagai Tenaga Kerja Bongkar Muatan (TKBM) yang memunculkan ide membuat gerobak untuk mengangkat barang-barang penumpang. Kerena selama ini para TKBM yang mengangkat barang menggunakan kekuatan badan mereka sehingga kadang TKBM tidak mendapat untung.
Mulai dari  tahun 2005 sampai tahun 2007 sekitar 15 gerobak yang beroperasi di Pelabuhan laut Nabire. Semua gerobak yang ada sekarang ini milik bapak-bapak TKBM.
“Gerobak  yang kami dorong sekarang ini bukan kami punya, pace-pace TKBM dong yang punya gerobak. Kami hanya menawarkan jasa untuk mendorong dan hasilnya akan dibagi. Biasanya sekali dorong gerobak kami dapat bayar Rp. 150.000,- yang pasti kami akan diberikan sekitar Rp.40.000,- dari pemilik gerobak,” ujar Isak.
Isak juga mengatakan bahwa banyak kendala saat mendorong gerobak. Misalnya, petugas KPLP marah-marah kerena harus antri dengan penumpang lain. Selain itu,  kalau saat mendorong gerobak kearah kapal tiba-tiba hujan turun dan barang-barang basah karena lupa membawa terpal, otomatis pemilik barang akan marah.
Tidak hanya itu, tapi kadang juga anak-anak pendorong gerobak dikasari oleh oknum polisi yang menjaga pelabuhan KP3 laut. Senada dengan Isak, Anis juga mengungkapkan tiap kali mau mendorong gerobak barang kedalam pelabuhan kadang dibentak, bahkan dipukul dengan rotan.
Melos Mori (30) TKBM Nabire mengatakan memang solusi untuk membuat gerobak meringankan beban TKBM sekarang ini. Karena tidak perlu angkat capek-capek lagi, tinggal menyuruh anak-anak dorong, kemudian diangkat keatas kapal dan pembayarannya tetap sama. “Kami tidak perlu capek- capek lagi, anak-anak dong ada. Tinggal suruh tiga orang dong dorong sampe dikapal, kami kasih uang untuk dong hanya Rp. 30.000,-Rp. 50.000,-. Ini yang menguntungkan kami,” ungkapnya sambil melempar senyum.
Sementara itu, Aleda Wayar aktivis perempuan Nabire mengatakan jangan sampai masa depan anak-anak Papua dikorbankan untuk kepentingan orang dewasa.
“Itu tidak benar. Masa anak-anak masa sekolah, bukan masa bekerja. Mereka harus mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya anak-anak yang ada diluar pulau Papua. Mengapa dana Otsus untuk pendidikan sangat besar tapi masih banyak anak-anak Papua yang berhenti sekolah kerena factor tidak ada biaya sekolah? Sekarang ini kan sudah ada dana BOS, masa masih di pungut biaya sekolah untuk pembangunan, itu tidak benar!” tegas Aleda.
Aleda juga menilai sekolah paket yang diselenggarakan saat ini tidak tepat sasaran. Sebab yang  namanya sekolah paket untuk SD, SMP dan SMU ini ternyata yang sekolah kebanyakan orang tua, karena mereka hanya mengejar ijasah untuk menjadi anggota DPR di Nabire, ungkapnya saat ditemui di terminal Transit Oyehe. Meski demikian, ia mengakui bahwa anak-anak Papua yang ada di kabupaten Nabire kesadaran untuk bersekolah sangatlah minim. Karena mereka mau mendapatkan uang dengan cepat, tidak mau melalui proses yang lama.
Anak-anak kota Nabire dari dulu sudah dimanja dengan pekerjaan yang instan seperti mendulang emas. Hanya mendulang satu hari saja bisa mendapatkan uang dari ratusan ribu sampai jutaan rupiaah. Jadi jangan heran kalau anak-anak Nabire malas untuk bersekolah lagi. Aleda menyarankan kalau bisa ada tim pemantua untuk kelas Paket A,B dan C agar jangan ada oknum yang sengaja mengunakan jasa tersebuit untuk kepentingan pribadi.
Isak dan Yohanis mengharapkan mereka dapat bersekolah lagi seperti teman-teman yang lain. Karena mereka berdua rindu untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, bukan harus mendorong gerobak hingga dewasa, kemudian menjadi TKBM. Saat ditanyai apakah mereka berdua mau jika ada yang menawarkan untuk bersekolah lagi? Dengan serentak kedua bocah tersebut mengatakan mau bersekolah lagi kalau ada yang membantu mereka. Selama ini Isak dan Yohanes tidak tahu kalau ada sekolah untuk anak-anak putus sekolah. Karena tidak ada sosilisasi dari pihak pemerintah kampung untuk masyarakat yang tinggal di kampung Samabusa.

Berarti pihak Pemerintah di kampung selama ini tidak melakukan pendekatan terhadap warganya. Sehingga banyak sekali anak-anak kampung Samabusa yang putus sekolah hingga mencapai umur 20 tahun keatas. Diharapkan pihak terkait seperti Dinas P & P harus mengambil peranan penting dalam menyelesaikan masalah anak-anak putus sekolah di Kabupaten Nabire. (Carol Ayomi/Victor Mambor).

Leave a comment »

ALKOHOL 75 %, MATI ATAU BUTA

ALKOHOL 75 %, MATI ATAU BUTA

Tanggal : 11 Dec 2007
Sumber : FokerLSMPapua.org

FokerLSMPapua.org,

Jubi – Disaat minuman keras (miras) berlabel dikenai pajak hingga harganya begitu mencekik leher, kaum menengah ke bawah terpaksa mengkonsumsi miras non label yang dijual murah di pasaran tertentu.

Sebut saja minuman lokal (milo) yang diproduksi secara tradisioanal yang bisa  ditemukan disetiap kota yang ada di pesisir tanah Papua. Di kota Jayapura, Biak dan Merauke, milo yang terbuat dari  sari pohon kelapa diberi nama Saguer. Sedangkan di  kota Serui, Nabire, Sorong dan Sarmi, mereka menyebut milo asal daerah mereka, Bobo. Konon sari minuman lokal ini didapatkan dari pohon bobo yang tumbuh dipinggiran sungai. Sementara milo di kota Manokwari disebut Ampou. Ampou ini terbuat dari sari pohon Enau. Berhubung Pemerintah Kabupaten Manokwari mengeluarkan Perda Miras yang berisi larangan penjualan minuman keras dalam bentuk apa pun, belakangan ini ampou jarang ditemui di Manokwari. Semua minuman tradisional yang sudah dikonsumsi selama turun temurun ini dianggap tidak berbahaya karena memiliki kadar alcohol yang layak untuk dikonsumsi.
Yang jadi masalah sekarang adalah masyarakat yang menkonsumsi Alkohol 75% (murni) yang sering digunakan untuk antiseptik atau obat luar untuk membersihkan luka atau mensterilkan luka dan sebagainya. Belakangan ini alkohol 75% sering digunakan oleh sebagian masyarakat untuk bahan  miras oplosan. Jika alcohol 75% sudah dikonsumsi sebagai miras oplosan terus menerus dampaknya sangatlah fatal bagi pecandu miras oplosan tersebut.
Orang yang menkonsumsi miras oplosan dengan kadar alkohol 75% lama kelamaan akan mengalami kebutaan. Dan lebih fatal lagi orang tersebut bisa meninggal dunia karena terjadi kerusakan pada organ tubuhnya. Diantaranya infeksi pada lambung dan pembengkakan pada hati`.
Drs. Muhamad Ramli Banau (55) dari Balai Pengujian Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Papua mengatakan kadar alcohol 1-55% layak disebut minuman keras dan itu sudah ditetapkan melalui Kepres No.03 tahun 97 tentang minuman keras. “Jadi minuman local atau milo termasuk golongan minuman keras karena kadar alkoholnya berada dibatas ketentuan yang sudah diuji oleh BPOM,” ujar Ramli. Menurut Ramli kasus kematian masyarakat Papua dikarenakan meminum alcohol 70% (alcohol untuk antiseptik atau obat luar tidak untuk diminum) bukan ditangani oleh BPOM tapi ditanggani langsung oleh pihak kepolisian. “Saya tidak tahu persis permasalahannya karena BPOM tidak menangani. Yang saya tahu mereka meminum miras oplosan dari koran,”  ungkap Muhamad Ramli Banau diruang kerjanya.
Menurutnya, alcohol merupakan barang yang bebas dijual belikan sehingga tidak ada larangan untuk pengedaran alcohol. Karena alcohol merupakan obat Antisepti untuk luka luar dan untuk mensterilkan jarum suntik. Alcohol juga biasa dipakai oleh tukang mebel untuk campuran terakhir dengan vernis dalam proses pembuat mebel. Kadang para tukang mebel ini membeli sampai dua liter. Jadi yang patut disalahkan adalah orang-orang yang salah menggunakan alkohol 70% sebagai bahan campuran minuman keras.
Seharusnya milo juga terdaftar dan diuji oleh BPOM apakah layak untuk dikonsumsi atau tidak. Karena selama ini banyak sekali dijumpai penjualan milo dikios-kios kecil atau pinggiran rumah warga. Tentunya perdagangan milo seperti ini beresiko tinggi.
“Kalau sudah diuji kelayakannya maka bisa ditentukan apakah milo yang selama ini beredar dimasyarakat layak dikonsumsi atau tidak,” ujar Ramli.
Ditempat terpisah Dokter Jaga Unit Gawat Darurat (UGD) pada Rumah Sakit Abe dr. Daisty Urbinas, mengatakan orang yang meminum alcohol 70% yang dioplos dapat menyebabkan mata menjadi kabur atau rabun yang pada akhirnya bisa buta.
Tahun ini kasus miras oplosan telah menyebabkan 12 pasien meninggal dunia.
“Kalau pun  ada yang selamat dari kasus diatas maka sudah pasti ujung-ujungnya  matanya buta karena menyerang saraf-saraf mata,” ujar Daisy Urbinas.
Menurut Urbinas, pasien yang dibawa ke UGD Abe kalau keadaanya sudah terlalu parah maka para medis akan menindak lanjuti dengan menyuntik atau memberi kopi.
“Kami tetap akan memberi pertolongan dengan memberi suntikkan obat untuk penawar racun.” ujar dr. Daisty Urbinas.
Kalau sudah ada orang yang kecanduan alcohol, lama kelamaan mereka akan malas dan tidak bisa melakukan sesuatu pekerjaan kalau tidak minum alcohol atau ada rangsangan.
Sementara itu menurut dr. M Nyoman Sri Antari, ahli penyakit dalam di Poliklinik Rumah Sakit Umum Abepura, orang yang mengkonsumsi alcohol terus menerus akan mengalami kerusakan pada bagian dalam lambung. Gas tristis di dalam lambung sangat berbahaya karena merupakan asam yang sangat keras sehingga kalau ada alkohol yang masuk terus menerus akan menyebabkan kerusakan lambung,” ujar Dr Nyoman.
Selain merusak lambung lanjut dr Nyoman juga dapat menyebabkan kerusakan terhadap hati, karena hati merupakan salah satu organ tubuh untuk menawar racun. Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Udayana Bali itu  mengaskan bahwa  orang yang mengkonsumsi alkohol terus menerus apalagi yang meminum alcohol murni salah satu dampaknya adalah penekanan pada saraf-saraf orang tersebut. Efeknya sangat cepat sehingga dapat menyebabkan pengerasan hati (Chirhosis hepatis).
“Kalau sudah terjadi pengerasan hati maka akan menyebabkan denyut nadi melemah (intoksikasi). Kalau tidak ditanggani secara cepat maka akan menyebabkan kematian. Ini sudah terbukti dengan beberapa teman-teman kita yang menkonsumsi alkohol murni meninggal ditempat karena tidak cepat dibawah ke rumah sakit untuk diberi pertolongan pertama,” ujar dokter Nyoman. (Carol Ayomi/Dominggus Mampioper)

Leave a comment »

Saatnya Melihat Pendidikan di Papua Berkualitas

Saatnya Melihat Pendidikan di Papua Berkualitas
Ditulis pada April 28, 2008 oleh Tabloid Jubi

JUBI – Inilah saatnya melihat kualitas pendidikan di Papua, bukannya harus mengatakan pendidikan di Papua buruk”

Meski fakta menunjukan bahwa pendidikan di tanah Papua masih terpuruk tetapi ada pihak juga yang menilai kondisi pendidikan di Papua saat ini sudah mengalami kemajuan. Hal ini bisa dilihat dari pembangunan gedung sekolah yang bertingkat, kualitas guru, dosen, serta anak didiknya boleh dikatakan dapat bersaing dengan daerah lain. Proses itu terjadi karena sudah ada keperdulian dari orang tua dan pemerintah dalam mencerdaskan putra-putri Papua. Tapi sayang masih banyak anak-anak Papua yang belum bisa membaca di tingkat SD di daerah pedalaman atau daerah terpencil di Papua. Seharusnya seorang pendidik mempunyai dedikasi yang tinggi terhadap anak muridnya. Jangan cuma datang untuk mencari pekerjaan demi kepentingan pribadi dan jabatan.
Elly Waicang dari Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Deponsero Utara (DPMA) Namblong, Distrik Nimboran Kabupaten Jayapura mengatakan guru guru sekarang di Kampungnya banyak yang meninggalkan tugas menyebabkan banyak anak sekolah yang tidak belajar alias libur panjang. Dampaknya memberikan sumber daya manusia (SDM) di kampung semakin merosot.
“Saya heran dulu waktu jaman penjajahan Belanda guru guru masih betah tinggal di kampung dan tetap menjalankan tugas. Berbeda dengan sekarang di jaman kemerdekaan mereka lebih banyak ke kota,”ujar Waicang dalam Pelatihan Pendidikan Demokrasi Dalam Sistem Pemerintahan Adat dan Pemerintahan Negara Bagi Community Leader kerja sama Satunama Jogyakarta; Foker LSM Papua dengan Pt PPMA Papua di Jayapura belum lama ini.
Lebih lanjut paitua Waicang menegaskan masalah ini menyebabkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di kampung semakin merosot dan banyak anak anak murid yang tidak tahu membaca dan menulis, meski mereka sudah duduk di bangku kelas VI.
Hal senada juga ditegaskan Direktur Pt PPMA Edison R Giay, selama delapan tahun tidak ada satu guru pun yang bertugas di Kampung Sentosa Distrik Urunumguay Kabupaten Jayapura sehingga sekolah kosong dan tidak ada aktivistas belajar mengajar.
“Saya melihat pendidikan bagi masyarakat kurang begitu diperhatikan terkecuali ada proyek perkebunan atau pun perlistrikan dan pembangunan pelabuhan kontainer di Depapre baru banyak pejabat yang mau terlibat,”ujar Giay heran.
Untuk menciptakan pendidikan yang baik seharusnya seorang guru mempunyai cinta kasih terhadap pekerjaan dan anak didiknya. Jika hal itu ada otomatis kemampuan pola pikir anak didiknya bisa maju. Ternyata masalah pendidikan bukan hanya monopoli sekolah-sekolah di daerah terpencil saja tetapi juga di jantung Kota Jayapura masih banyak anak-anak Papua yang belum bisa membaca dan menulis salah satu adalah SD Negeri 5/81 Gurabesi Kota Jayapura.
SD Negeri 5/81 Gurabesi ini letaknya dipinggiran kali Anafre Klofkamp ini memiliki satu kantor yang terdiri dari ruang guru dan ruang kepala sekolah, serta enam ruang kelas, tujuh guru tetap, dua guru kontrak, dan seratus empat puluh siswa. Kebanyakan anak-anak yang sekolah di situ adalah anak-anak Papua yang orang tuanya bekerja sebagai Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) di pelabuhan Jayapura. Dengan profesi orang tua sebagai TKBM sudah tentu perhatianya terhadap pendidikan anaknya sangat berkurang. Hal ini di alami oleh salah satu siswi kelas 3 SD Negeri 5 Gurabesi, Monalisa Bonay (12). Hingga saat ini Ia belum bisa mengeja kata serta membaca. Monalisa terlihat tidak malu, takut serta ragu mengenai dirinya belum bisa membaca, tuturnya dengan wajah lengsung pipit, gadis serui yang satu ini saat di tanyai wartawan Jubi, Jumat, (11/4).
Selain Monalisa, ada beberapa temannya juga belum bisa membaca, antara lain Cristin, Icang, dan Ester. Keempat anak itu tidak merasa malu, tidak merasa minder, selalu ceria, gembira, dan bermain dengan teman-teman yang bisa membaca.
Menurut Bertha Panjaitan (36), guru kelas 3 SD Negeri Gurabesi, banyak kendala yang menyebabkan Monalisa dan teman-temanya tidak bisa membaca. Kendala-kendala tersebut antara lain kurang perhatian dari orang tua murid, penyedian buku paket yang terbatas, anak-anak yang malas belajar dan sekolah, faktor lingkungan. “Terkadang orang tua murid kurang perduli kalau anaknya tidak masuk sekolah, bahkan untuk membeli buku tulis dan bolpen saja setengah mati sekali”, ujar Bertha Panjaitan sambil mengunyah pinang.
Menurut Ketua Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih (Uncen), Dr. Lazarus. Revassy. MA (56), dosen Fisip Uncen, bahwa sekitar tahun 60-an sampai tahun 70-an kondisi pendidikan di Papua sangat terbatas, di Jayapura sendiri mempunyai Penguruan tinggi UNCEN dan beberapa SMA yang bagus. Sesudah masuk dekade tahun 80-an distribusi pendidikan di Papua seperti SMA semakin merata. Pendidikan di Papua khususnya di Jayapura sangatlah baik. Proses belajar mengajar berjalan cukup bagus dengan fasilitas yang memadai, guru serta murid dapat berinteraksi. Bukan saatnya kita mengatakan pendidikan di Papua sangatlah buruk.
Persoalan sekarang bagaimana lulusan-lulusan dari Papua bisa bersaing dengan lulusan-lulusan dari luar Papua. Ada yang mengatakan semacam Kondensesion bahwa lulusan dari Papua kalau melanjutkan ke kota-kota besar selalu kalah bersaing dalam dunia pendidikan khususnya skill individual.
“ Hal-hal yang membuat anak-anak Papua tidak bisa bersaing dalam dunia Pendidikan, karena faktor kendala budaya, sosial ekonomi dari orang tua sehingga tidak bisa mensuport kedepan lebih baik. Atau orang tua kurang memberikan perhatian serius,”ujar Revasi.
Sudah saatnya image yang mengatakan pendidikan di Papua sangatlah buruk haruslah dibuang. “Kalau kita berbicara soal pendidikan, kita akan berbicara soal kualitas, siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu ini merupakan persoalan. Sekarang ini kita tahu bahwa sudah banyak sekali anak-anak Papua yang diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di luar Papua dengan adanya bantuan beasiswa dari pemerintah,”ujar Revasi.
Kekurangan-kekurangan yang menyebabkan anak Papua tidak mendapatkan pendidikan. Mental dari anak-anak Papua yang kadang kala membuat mereka tidak mandiri, cara pandang yang sempit, hidup bergantung dengan oarang tua. Sedangkan anak non Papua mereka lebih maju pesat dalam dunia pendidikan, karena cara pandang yang jauh kedepan, hidup mandiri serta tidak bergantung kepada orang tua. Kekurangan-kekurangan Ini merupakan masalah bagi semua oarng Papua, sebab generasi muda Papua sekarang ini lebih banyak menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pendidikan, sehingga anak-anak Papua kalah bersaing dengan anak-anak non Papua dalam dunia pendidikan.
Untuk mencerdaskan anak-anak Papua, hal utama ialah kesehatan atau gizi mereka yang harus diperhatikan. Jika mempunyai gizi yang baik, sudah tentu dalam proses belajar mengajar anak di sekolah akan memperoleh hasil yang memuaskan. Karena pendidikan awalnya dari kesehatan di dalam keluaraga. Kalau keluarga yang perduli akan dunia pendidikan pasti segala sesuatu disediakan.
“Lebih lagi mengatur disiplin belajar yang benar dirumah. Kadang persoalan yang terjadi banyak sekali keluarga kurang memperhatikan kualistas anaknya dalam pendidikan. Sehingga kemajuan pendidikan anak Papua sangatlah rendah. Oleh karena itu, keluaraga, sekolah serta masyarakat merupakan tiga hal yang harus melihat pendidikan secara baik,”tegas Revasi.
Selain itu tambah Revasi faktor lingkungan juga sangat menunjang anak tersebut dalam dunia pendidikan. Untuk itu, di sekolah harus ada persiapan yang baik dari seorang guru dalam proses belajar mengajar. Sehingga waktu yang sangat singkat yakni enam jam harus diperhatikan baik oleh para guru.
Harus kita akui bahwa faktor budaya membaca sangatlah rendah bagi masyarakat Papua. “Jadi seharusnya budaya membaca ditanamkan sedini mungkin didalam keluarga. Kalau seseorang gemar membaca, otomatis akan bertambah ilmu pengetahuannya. Karena ilmu pengetahuan berasal dari membaca. jika malas membaca sudah tentu pengetahuan akan terbatas,”tutur Revasi.
Jadi institusi terkait harus menyediakan wadah atau perpustakan dengan kualitas buku bacaan yang memadai. Memang harus diakui kualitas anak-anak didik di Papua dikatakan kurang bagus. Karena fasilitas pendukung seperti Perpustakaan, toko-toko buku, taman bacaan kekurangan buku. Bahkan kalau dilihat hampir semua buku-buku lama yang masih banyak dijumpai. Sedangkan untuk daerah luar Papau seperti Jawa, sumatra, kalimatan, sulawesi mempunyai fasilitas yang mendukung anak-anak untuk mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyak mungkin dari buku bacaan. Kebiasaan anak-anak di luar Papua mengisi waktu luang dengan membaca buku di perpustakaan dan toko-toko buku sehingga kualitas pendidikan mereka lebih bagus dari anak-anak Papua.
“Kebiasaan anak-anak Papua, sesudah mendapat materi dari dosen atau guru begitu pulang ke rumah mereka tidak mengulangi pelajaran yang didapat. Cacatan dilipat kemudian dibuang saja di atas meja atau tempat tidur. Pada saat ujian baru sibuk untuk belajar. Sehingga proses tersebut membuat kualitas pendidkan menurun. Jadi tidak heran ada orang mengatakan lulusan dari Papua kurang berkualitas”, ungkap Dr. L. Revasey. MA, dosen Fisip Uncen.
Ketua lembaga pendidikan Uncen Jayapura mengharapkan Pemerintah serius dan konsentrasi masalah pendidikan di Papua. Karena dana-dana untuk…… pendidikan sangatlah besar, sebaiknya dana-dana tersebut digunakan untuk menciptakan kualitas manusia Papua yang pintar. Apalagi ditambah dengan dana Otsus sekitar 30%, seharusnya dana-dana tersebut dialihkan untuk membeli buku-buku baru untuk mengisi perpustakaan daerah.
Senada dengan Dr. L. Revassy, Ma, Kepala sekolah SMU Negeri satu Jayapura Drs. Marthen Tanatti menjelaskan tidak semua SDM Papua dalam Pendidikan buruk. Sebenarnya anak-anak Papua memiliki potensi dan kemampuan yang cukup besar. Tapi semuanya itu harus digali terus menerus untuk memperoleh kualitas pendidikan yang bisa dipakai di segala bidang. Faktor-faktor penyebabnya adalah kurangnya perhatiaan dari keluarga dan faktor lingkungan ikut pula mempengaruhi. “Orangtua harus menyediakan tempat belajar khusus bagi anaknya rumah. Agar merasa nyaman belajar di rumah, orang tua harus menjadi guru sekaligus teman yang baik bagi anaknya dan diberi kesempatan untuk berkreasi,”tutur mantan Kepala Sekolah SMA Buper dan SMA Gabungan ini. Dengan proses tersebut tambah Tanati otomatis anak-anak akan betah tinggal dirumah dan tidak terpengaruh dengan lingkungan. Karena faktor lingkungan juga salah satu pemicu merosotnya dunia pendidikan di Papua. Marten menyarankan harus diberikan ujian kopentensi bagi guru-guru tiap tahun. Disitu barulah bisa diukur apakah masih layak seorang guru mengajar. Kalau tidak memenuhi target, maka guru tersebut tidak boleh mengajar dan dipindahkan ke dinas terkait. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang berbobot haruslah diperhatikan kesehatan gizi anak Papua. Jika gizi yang baik diberikan sejak dini maka kemampuan daya pikir anak akan meningkat.
Sudah saatnya pendidiikan di Papua disejajarkan dengan pendidikan di luar Papua. Kualitas anak-anak Papua sudah teruji yang memperoleh penghargaan tingkat Nasional behkan Internasional dalam dunia pendidikan. Bahkan sudah banyak yang disekolahkan di manca Negara. Tinggal bagaimana anak-anak Papua diberikan kesempatan sebanyak-banyak mungkin untuk berperan dalam memajukan pendidikan di Papua. (Carol Ayomi Dominggus Mampioper).

Leave a comment »